Ribuan angan sesaki pikiranku. Entah mana yang akan dilirik oleh sang
pengabul doa. Hari berlalu bagai buih diterjang angin. Terasa singkat,
padahal berbulan-bulan telah meninggalkan ibu. Bahkan, terhitung setahun
lebih. Senyum, tawa, dan amarahnya tak bisa terhapus dari benak ini.
Baru tahun ini aku jauh dari orang tua. Benar-benar jauh, harus
melintasi lautan jika ingin melihat senyumnya lagi. Harus mengawang
dengan merpati jika hendak membuatnya mengernyitkan kening, seraya
menyebut namaku dengan keras, pertanda amarahnya mulai tampak. Ah, jadi
rindu suasana rumah.
Ibu, dia pahlawan nomor satu dalam hidupku. Ibu memang tak terlalu bisa bercanda. Sama sepertiku. Tapi dalam segala hal, ibuku bisa dan terampil. Malah melebihi ayah. Ibuku pandai memperbaiki kabel listrik yang rusak. Bila ada kabel putus, ibu ahlinya. Seperti anak teknik elektro saja. Pun jago dalam memasak, makanya ibu selalu mencoba resep baru. Dulu saja sempat berpikir memasukkanku di tata boga. Apalagi, ya? Kalau soal jahit-menjahit, ibuku tersohor dengan keahlian itu. Sampai-sampai orang-orang dari lintas kecamatan berdatangan di rumah untuk merasakan hasil jahitan ibu. Hasilnya tak pernah mengecewakan, itu kata orang.
Aku juga sempat ingin mengikuti jejaknya untuk terampil menjahit. Maksudnya, sih, untuk dijadikan keterampilan eksklusif (khusus untuk suami dan anak-anakku kelak). Tapi, kata ibu, bila aku ingin pandai menjahit, butuh keahlian analitis. Ah, macam peneliti saja, pikirku. Ukuran badan seseorang punya rumus. Ada teknik tersendiri bila ingin menghasilkan jahitan yang sempurna. Wah, repot juga, aku kan tidak suka berhubungan dengan angka. Aku lebih suka menulis. Lebih suka berbicara.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Masih ada banyak hal yang membuatku kagum padanya. Kreatif, yah, ibuku kreatif. Kain-kain perca bisa disulap jadi barang yang bermanfaat. Bila Anda salah seorang pelanggan jahitan ibu, maka kain sisa Anda takkan terbuang begitu saja. Apalagi bila Anda punya anak kecil. Kain sisa itu akan dibuatkan baju serupa untuk anak kecil Anda. Atau malah akan dibuat dompet imut dari kain perca itu. Maaf, bukan promosi tetapi memang kenyataan. Dulu, aku juga pernah merasakan bagaimana kreatifnya ibu memodifikasi jilbabku yang bolong tak karuan gara-gara tikus. Ibu menempelkan kain yang serupa dan menambahkan dengan variasi lebih menarik dari sebelumnya. Walhasil, jilbab itu menjadi serasi dengan bajuku yang kebetulan memiliki variasi yang sama. Ketika aku mengenakannya, teman-temanku pasti berkata, “cantik sekali bajumu, serasi dengan jilbab, beli di mana?” “Ah, ini jahitan ibuku”, jawabku. Saking kreatifnya ibu menekuni bidangnya itu, ibu pernah menjahit celana tidur, baju potongan untukku dari kain sisa dengan menggunakan tangan, tanpa mesin jahit. Tadinya aku tak percaya kalau jahitan itu manual. Habis, hasilnya rapi, tak terlihat kalau itu jahitan tangan.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Aha, ibuku punya minat bisnis yang bagus. Dia pernah mengelilingi papua untuk berbisnis. Tentu saja, ibu berbisnis tak jauh dari keahliannya, memasak dan menjahit. Emang, sampai di Irian dan Papua pun banyak yang menyukai hasil jahitannya. Kalau ibu punya jiwa petualang dan pantang menyerah. Maka, aku yakin kedua hal itu menurun padaku. Aku selalu siap menerima tantangan. Tak mudah menyerah, sebab tekad selalu aku tanamkan sebelum bertindak. Jika aku pun dijuluki kreatif dan serba bisa oleh anak-anakku di pelosok, maka aku pun percaya kalau bakat itu turunan ibu. Tapi, bagiku tentu ibuku lebih kreatif, dan Maha Pencipta jauh lebih kreatif.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Anda tahu? Berkat ibuku aku bisa melewati segala rintangan. Kelu-kesah selalu kusambut dengan baik, semua terinspirasi dari ibu. Ibu pernah sukses dalam bisnis dagang, kemudian ia jatuh dan terpuruk. Tetapi, ia bisa bangkit. Saat itulah aku merasa sangat kecil di matanya.
Dulu, waktu masih mengenyam bangku kuliah, aku amat berat untuk mengatakan ini dan itu pada ibu. Sebab aku tahu, masa-masa itu sangat sulit baginya. Makanya, aku berusaha mengejar berbagai beasiswa untuk tetap survive dalam kuliah. Tiga kategori beasiswa pun kuraih. Yah, pandangan orang mungkin berbeda, menganggap keluargaku mampu, tetapi ibuku benar-benar jatuh. Bisnis tak berjalan lancar, modal pun habis. Aku bahkan sering meneteskan air mata sembari membayangkan wajahnya. Makanya, aku bertekad menjadi yang terbaik di setiap kesempatan untuk membuktikan pada ibu bahwa anaknya juga bisa diandalkan.
Tentu tak mudah untuk menjadi yang terbaik, kualitas diri menentukan predikat itu. Tetapi untuk mewujudkan hal itu, aku cukup membayangkan ibu, meminta doa dan restunya, maka aral terasa ringan untuk dilalui. Aku pernah merasakan sia-sia saja menjadi yang terbaik sebab ibuku takkan mungkin melirik hal itu. Ibuku tak mengerti akan hal itu, ia bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Kompetisi dan prestasi baginya tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah bekal keterampilan yang mumpuni. Ah, rasanya aku ingin mengenang masa bangku sekolah dan kuliah. Aku pernah mendapat dua sertifikat penghargaan dari sekolah (MAN), juga pernah meraih juara 1 pidato bahasa Arab, pun terpilih sebagai moderator dengan 3 bahasa bersama dua rekanku yang lain. Di perguruan tinggi aku menjadi yang terbaik, tetapi ibu tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman itu, aku belajar memahami bahwa yang diinginkan ibuku bukanlah prestasi yang cemerlang, melainkan bukti real di lapangan. Dari hal itu, aku juga belajar mengerjakan segala hal tanpa mengejar apa pun.
Kemarin, Ramadhan pertama tanpa ibu. Aku tengah menempuh pendidikan di kampus alam, kampus tempat orang-orang ditempa dengan pelajaran hidup di lingkungan sekitar. Di sampingku tak ada ibu yang jago teknik elektro, yang apabila lampu dan kabel listrikku rusak akan diperbaikinya. Tak ada ibu yang jago masak, yang bila aku lapar akan memasakkan makanan kesukaanku, tak ada ibu yang pandai menjahit, yang bila pakaianku sobek akan dipermak olehnya. Namun, satu yang tak lekang dan akan terus menemaniku, inspirasi darinya. Aku pun yakin, doa-doanya terus mengalir untukku sebab aku bisa merasakannya. Terasa ringan beban ini bila telah membayangkan wajahnya. Ibu, kau pahlawan nomor satu bagiku. Selamat Hari Ibu bagi para Ibu.
Ibu, dia pahlawan nomor satu dalam hidupku. Ibu memang tak terlalu bisa bercanda. Sama sepertiku. Tapi dalam segala hal, ibuku bisa dan terampil. Malah melebihi ayah. Ibuku pandai memperbaiki kabel listrik yang rusak. Bila ada kabel putus, ibu ahlinya. Seperti anak teknik elektro saja. Pun jago dalam memasak, makanya ibu selalu mencoba resep baru. Dulu saja sempat berpikir memasukkanku di tata boga. Apalagi, ya? Kalau soal jahit-menjahit, ibuku tersohor dengan keahlian itu. Sampai-sampai orang-orang dari lintas kecamatan berdatangan di rumah untuk merasakan hasil jahitan ibu. Hasilnya tak pernah mengecewakan, itu kata orang.
Aku juga sempat ingin mengikuti jejaknya untuk terampil menjahit. Maksudnya, sih, untuk dijadikan keterampilan eksklusif (khusus untuk suami dan anak-anakku kelak). Tapi, kata ibu, bila aku ingin pandai menjahit, butuh keahlian analitis. Ah, macam peneliti saja, pikirku. Ukuran badan seseorang punya rumus. Ada teknik tersendiri bila ingin menghasilkan jahitan yang sempurna. Wah, repot juga, aku kan tidak suka berhubungan dengan angka. Aku lebih suka menulis. Lebih suka berbicara.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Masih ada banyak hal yang membuatku kagum padanya. Kreatif, yah, ibuku kreatif. Kain-kain perca bisa disulap jadi barang yang bermanfaat. Bila Anda salah seorang pelanggan jahitan ibu, maka kain sisa Anda takkan terbuang begitu saja. Apalagi bila Anda punya anak kecil. Kain sisa itu akan dibuatkan baju serupa untuk anak kecil Anda. Atau malah akan dibuat dompet imut dari kain perca itu. Maaf, bukan promosi tetapi memang kenyataan. Dulu, aku juga pernah merasakan bagaimana kreatifnya ibu memodifikasi jilbabku yang bolong tak karuan gara-gara tikus. Ibu menempelkan kain yang serupa dan menambahkan dengan variasi lebih menarik dari sebelumnya. Walhasil, jilbab itu menjadi serasi dengan bajuku yang kebetulan memiliki variasi yang sama. Ketika aku mengenakannya, teman-temanku pasti berkata, “cantik sekali bajumu, serasi dengan jilbab, beli di mana?” “Ah, ini jahitan ibuku”, jawabku. Saking kreatifnya ibu menekuni bidangnya itu, ibu pernah menjahit celana tidur, baju potongan untukku dari kain sisa dengan menggunakan tangan, tanpa mesin jahit. Tadinya aku tak percaya kalau jahitan itu manual. Habis, hasilnya rapi, tak terlihat kalau itu jahitan tangan.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Aha, ibuku punya minat bisnis yang bagus. Dia pernah mengelilingi papua untuk berbisnis. Tentu saja, ibu berbisnis tak jauh dari keahliannya, memasak dan menjahit. Emang, sampai di Irian dan Papua pun banyak yang menyukai hasil jahitannya. Kalau ibu punya jiwa petualang dan pantang menyerah. Maka, aku yakin kedua hal itu menurun padaku. Aku selalu siap menerima tantangan. Tak mudah menyerah, sebab tekad selalu aku tanamkan sebelum bertindak. Jika aku pun dijuluki kreatif dan serba bisa oleh anak-anakku di pelosok, maka aku pun percaya kalau bakat itu turunan ibu. Tapi, bagiku tentu ibuku lebih kreatif, dan Maha Pencipta jauh lebih kreatif.
Ibu, dia adalah pahlawan nomor satu dalam hidupku. Anda tahu? Berkat ibuku aku bisa melewati segala rintangan. Kelu-kesah selalu kusambut dengan baik, semua terinspirasi dari ibu. Ibu pernah sukses dalam bisnis dagang, kemudian ia jatuh dan terpuruk. Tetapi, ia bisa bangkit. Saat itulah aku merasa sangat kecil di matanya.
Dulu, waktu masih mengenyam bangku kuliah, aku amat berat untuk mengatakan ini dan itu pada ibu. Sebab aku tahu, masa-masa itu sangat sulit baginya. Makanya, aku berusaha mengejar berbagai beasiswa untuk tetap survive dalam kuliah. Tiga kategori beasiswa pun kuraih. Yah, pandangan orang mungkin berbeda, menganggap keluargaku mampu, tetapi ibuku benar-benar jatuh. Bisnis tak berjalan lancar, modal pun habis. Aku bahkan sering meneteskan air mata sembari membayangkan wajahnya. Makanya, aku bertekad menjadi yang terbaik di setiap kesempatan untuk membuktikan pada ibu bahwa anaknya juga bisa diandalkan.
Tentu tak mudah untuk menjadi yang terbaik, kualitas diri menentukan predikat itu. Tetapi untuk mewujudkan hal itu, aku cukup membayangkan ibu, meminta doa dan restunya, maka aral terasa ringan untuk dilalui. Aku pernah merasakan sia-sia saja menjadi yang terbaik sebab ibuku takkan mungkin melirik hal itu. Ibuku tak mengerti akan hal itu, ia bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Kompetisi dan prestasi baginya tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah bekal keterampilan yang mumpuni. Ah, rasanya aku ingin mengenang masa bangku sekolah dan kuliah. Aku pernah mendapat dua sertifikat penghargaan dari sekolah (MAN), juga pernah meraih juara 1 pidato bahasa Arab, pun terpilih sebagai moderator dengan 3 bahasa bersama dua rekanku yang lain. Di perguruan tinggi aku menjadi yang terbaik, tetapi ibu tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman itu, aku belajar memahami bahwa yang diinginkan ibuku bukanlah prestasi yang cemerlang, melainkan bukti real di lapangan. Dari hal itu, aku juga belajar mengerjakan segala hal tanpa mengejar apa pun.
Kemarin, Ramadhan pertama tanpa ibu. Aku tengah menempuh pendidikan di kampus alam, kampus tempat orang-orang ditempa dengan pelajaran hidup di lingkungan sekitar. Di sampingku tak ada ibu yang jago teknik elektro, yang apabila lampu dan kabel listrikku rusak akan diperbaikinya. Tak ada ibu yang jago masak, yang bila aku lapar akan memasakkan makanan kesukaanku, tak ada ibu yang pandai menjahit, yang bila pakaianku sobek akan dipermak olehnya. Namun, satu yang tak lekang dan akan terus menemaniku, inspirasi darinya. Aku pun yakin, doa-doanya terus mengalir untukku sebab aku bisa merasakannya. Terasa ringan beban ini bila telah membayangkan wajahnya. Ibu, kau pahlawan nomor satu bagiku. Selamat Hari Ibu bagi para Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar